Masalah-masalah furu' dan mutaghayyirat adalah sesuatu yang tidak mungkin disepakati oleh para ulama sepanjang zaman, sehingga terjadilah ikhtilaf (perbedaan pendapat). Perbedaan pendapat ini (selama masih disandarkan pada dalil yang shahih) sepanjang terjadi pada masalah ijtihadiyyah, furu'iyyah, dan mutaghayyirat maka merupakan suatu rahmat ALLAH SWT yang tidak dapat dihapuskan. Sehingga disinilah diperlukan sikap lapang dada (rahbatush shadr), toleransi (tasamuh) serta tidak diiringi fanatisme (ta'ashshub), serta berupaya untuk memahami pendapat pihak lain yg berbeda dg kita.
Al-Ikhtilaf tentang suatu masalah sudah ada semenjak masa Nabi SAW, dan beliau SAW pun tidak menyalahkan kepada salah satu pihak, bahkan memberikan kebebasan bagi mereka untuk berikhtilaf sesuai dengan pendapat dan pemikirannya masing-masing sepanjang masih berada dalam koridor syar'iyyah. Dalam masalah ikhtilaf ini terkadang harus diambil keputusan dimana semua kelompok harus menerima, dan masalah-masalah seperti ini biasanya adalah masalah teknis yang tidak disebutkan dalam nash Al-Quran dan as-Sunnah.
Sehingga disinilah dibutuhkan syura' serta ada seorang pemimpin yang memutuskan kata akhir dari syura' tersebut. Hal seperti ini pernah terjadi ketika para sahabat berselisih dalam menentukan keputusan berperang melawan Quraisy, apakah mereka harus bertahan di Madinah atau harus keluar ke Uhud. Dan akhirnya diputuskan berdasarkan suara mayoritas untuk pergi ke Uhud walaupun Nabi SAW cenderung untuk bertahan di Madinah.
Ikhtilaf lainnya adalah yang terkait dengan pemahaman terhadap nash Al-Quran dan as-Sunnah. Setelah perang Uhud ini Nabi SAW memerintahkan pada para sahabatnya agar : "Janganlah kalian shalat Ashar kecuali pada perkampungan bani Quraizhah (La tushalliyannal 'ashra illa fi bani quraizhah)!" Maka semua sahabatpun melaksanakan perintah tersebut, tetapi saat ditengah jalan waktu Ashar hampir habis, sehingga mereka perlu memutuskan apakah melaksanakan perintah nabi SAW atau melakukan shalat. Maka sebagian dari mereka tetap berpegang kepada zhahir (tekstual) pesan Nabi SAW dan tidak melakukan shalat melainkan setelah sampai ke bani Quraizhah, sementara sebagian yang lain berusaha memahami perkataan nabi SAW tersebut secara kontekstual sehingga mereka melakukan shalat dengan cepat lalu menyusul ke perkampungan bani Quraizhah. Ketika mereka semua melaporkan kepada Nabi SAW hal tersebut, maka Nabi SAW tidak menyalahkan kepada salah satu kelompok.
Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf Fiqh
1. Bisa karena nash as-Sunnah sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain, sehingga kesimpulan ijtihad mereka menjadi berbeda. Seperti hadits tentang air 2 kullah (qullataini) tidak mengandung najis (hadits tersebut dha'if) tetapi tidak sampai berita kedha'ifan tersebut pada Imam Syafi'i, sehingga beliau tetap menggunakan hadits tersebut.
2. Ada terjadi 2 nash atau lebih seolah-olah bertolak-belakang antara nash tersebut, sehingga ada yang menggunakan metode jam'i(menggabungkan) ada yg menggunakan metode tarjih (menguatkan salah satu). Seperti hadits tentang hukumnya melabuhkan kain melewati mata kaki.
3. Tidak ada penunjukan (dilalah) yang jelas, sehingga diambil dari umumnya nash atau melalui mafhum atau qiyas. Seperti ayat tentang tidaklah menyentuh Al-Quran kecuali mereka yg suci. Suci dalam ayat ini bermakna musytarak (bisa berbagai arti), bisa berarti orang yang telah bersyahadah (muslim), bisa juga diartikan orang yang telah berwudhu, bisa juga diartikan para malaikat yg suci.
4. Perbedaan pemahaman bahasa Arab, diantaranya dengan memahami bahasa tersebut apakah perintah atau larangan. Lalu sebagian ulama mengartikan sebuah perintah berarti wajib, sementara sebagian yang lain mengartikannya sunnah, seperti hadits tentang memanjangkan jenggot. Begitu juga sebuah larangan ada yang mengartikannya haram dan ada pula yang mengartikannya makruh, seperti hadits-hadits tentang musik dan menggambar.
5. Terjadi perbedaan pendapat terkait dengan derajat keshahihan hadits, hal ini terutama terjadi pada nash-nash yang bukan muttafaq 'alaih (Bukhari Muslim), ada yang menguatkan /menshahihkan ada pula yang melemahkan /mendha'ifkan. Seperti hadits tentang qunut shubuh, membaca yasin bagi yang meninggal, dan sebagainya.
6. Terjadi perbedaan pendapat terkait dengan hadits ahad, ada yang menerima dan ada pula yang menolak. Seperti tentang turunnya Isa bin Maryam, Imam Mahdi, dan sebagainya.
7. Pengaruh kultur budaya setempat dimana para ulama tersebut tinggal. Contohnya Imam Syafi'i menulis kitabnya yang dinamakan qaulul qadim ketika ia tinggal di Iraq, dan membuat fatwanya yang baru yang dinamakan qaulun jadid saat beliau pindah ke Mesir, karena perbedaan kultur setempat.
Oleh Dr. Salim Seggaff al-Juffry, MA.*)
Posted by Adimin Dd
Posting Komentar