Partai Keadilan Sejahtera (PKS) betul-betul menjadi balon dalam lanskap perpolitikan Tanah Air dewasa ini. Makin ditekan dan dipojokkan justru PKS makin kuat, solid, dan terbang dengan kekuatannya. Layaknya karet, semakin partai ini ditekan semakin kuat dorongan untuk memantul. Pasca ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaq (LHI), mantan Presiden PKS sebagai tersangka KPK, PKS justru mendulang kemenangan dalam sejumlah pilkada.
Dalam pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara jago PKS yang ikut bertanding memenangi pertempuran. Hingga saat ini, segenap komentar, prediksi, atau hujatan publik dan media terhadap PKS menjadi terjun bebas (fall free).
Bagi kalangan internal PKS sendiri, kemenangan dalam dua pilkada tersebut telah mewujud sebagai tambahan darah segar bagi perjuangan mereka untuk membalikkan serangan yang membabi buta, argumen-argumen kasar dan keterlaluan yang secara terus-menerus menghajar partai dakwah tersebut.
Boleh saja banyak pihak berdalih bahwa kemenangan dua pilkada tersebut sepenuhnya bukanlah kemenangan PKS. Ada yang menganggap bahwa kemenangan dua pilkada itu adalah kemenangan kolektif sejumlah partai karena pasangan yang diusung adalah kolaborasi beberapa partai. Pihak lain juga menilai bahwa kemenangan pada dua pilkada tersebut sejatinya adalah kemenangan golput. Jumlah golput di Jabar dan Sumut dikabarkan sekitar lima puluh persen dari totalitas pemilih. Analisa demikian tentu sah-sah saja meskipun dalam banyak hal mulai terlihat galau dan tidak rancak dalam mengakui sebuah objektivitas.
Hanya saja, menyalahkan kemenangan PKS dalam dua pilkada di atas sebagai kebangunan golput juga sesuatu yang juga berlebihan. Mereka yang tidak memilih bisa jadi memiliki banyak alasan yang berbeda. Ada yang tidak memilih karena menganggap berdemokrasi itu haram. Ada pula yang tidak memilih karena sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang mendapat musibah pada hari pencoblosan, sehingga tidak bisa memilih.
Ada yang sudah bersikap apatis kepada semua parpol, ada yang tidak apatis pada parpol, namun tidak menemukan satu kandidat pun yang dianggapnya cocok untuk dipilih. Mungkin ada juga yang dulunya habis-habisan mendukung kandidat tertentu, namun apa dinyana kandidat yang didukungnya tidak diloloskan oleh KPU. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak memilih saja. Ada juga yang secara kebetulan sudah memiliki agenda lain yang sudah dipastikan sejak jauh-jauh hari, dan kebetulan agenda itu jatuh pada hari pencoblosan, sehingga ia tidak bisa memilih.
Hemat saya, kemenangan PKS pada pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara sesungguhnya merupakan cermin survivalitas—daya untuk tetap bertahan PKS—terhadap tekanan dari segenap penjuru mata angin yang berdiri kokoh pada tiga kekuatan utama.
Pertama, soliditas kader. Kekuatan utama PKS, bahkan sejak masih Partai Keadilan (PK), terletak pada sistem kaderisasinya yang terbangun kuat lewat proses tarbiyah (pembinaan) secara ketat dan gradual. Sarana tarbiyah bukanlah sekadar alat homogenisasi atau uniformitas pemikiran dan derap langkah yang berujung pada proses cuci otak alias indoktrinisasi yang selama ini kerap dituduhkan banyak pihak, melainkan sebagai wasilah pemberian gizi jiwa yang melahirkan kader-kader PKS yang militan dan terdidik.
Terpaan media yang secara terus menerus menggerus citra PKS dalam banyak kasus tanpa menyisakan sedikit ruang pun bagi politisi PKS untuk membela diri dan menyajikan pandangan alternatif tidak membangun tren kutu loncat besar-besaran bagi kader PKS untuk meninggalkan kendaraan politiknya. Padahal kesempatan ini sangat memungkinkan dan memiliki basis rasionalitas dan legitimasi yang kuat bagi kader partai untuk pindah haluan.
Militansi kader berbasis tarbiyah demikian membuat serangan ‘jurnalisme su’uzhan’ balik kanan seperti melempar bola ke tembok. Inilah yang membuat kader PKS memiliki daya tahan terhadap pemberitaan yang tak berimbang, daya tangkal terhadap tekanan isolasi sosial, maupun daya seleksi tarik menarik opini publik yang dalam banyak hal cenderung mengikuti arus agenda setting kebanyakan media massa. Kader PKS sadar betul bahwa media massa bukanlah sarana tarbiyah.
Kedua, manajemen isu yang luar biasa. Banyak yang meyakini bahwa penahanan LHI oleh KPK menjadi awal rontoknya PKS bukan saja disebabkan dekatnya pemilu legislatif dan Pilpres 2014 tapi juga agenda pilkada yang bakal berserakan di banyak daerah. Namun PKS dengan sigap membangun kuda-kuda untuk bertahan menyahut keniscayaan ancaman dengan mengganti pucuk pimpinan, yakni Anis Matta sebagai Presiden PKS yang baru.
Transformasi kepemimpinan ini memberikan efek ganda—defensif untuk menjaga keutuhan kader sebagai modal politik primer dari tsunami politik dan ekspansif untuk mengonsolidasikan kader-kader terbaik partai guna menghadapi sejumlah pesta demokrasi di daerah. Anis Matta, setidaknya hingga saat ini, sukses menjalankan strategi ‘kusir bendi’ dalam menggerakkan mesin politik PKS; seorang kusir lazimnya mengobrol dengan penumpangnya sambil mengendarai kudanya. Artinya, PKS di bawah kepemimpinan Anis Matta tetap berjalan fokus ke depan seraya pada saat yang sama dengan cerdas melakukan counter sana sini terhadap sinisme elit dan pengamat lewat kerja-kerja nyata.
Alih-alih menghabiskan energi dengan teori konspirasi yang sempat membuat PKS berjalan di tempat, Anis membawa PKS menjalani ‘quantum leap’ dengan mengalihkan energi kader kepada pilkada sebagai target terdekat.
Ketiga, kepemimpinan kolektif yang konsisten. Sungguhpun Anis Matta dianggap kontributif mendongkak elektabilitas partai dengan kapabilitas yang dimilikinya—orator, kemampuan manajerial, penulis, dan ahli lobi—kebangunan PKS lebih terletak kepada kualifikasi kepemiminan jamaah, yakni majelis syura.
Kolektivitas kepemimpinan ini semakin mengukuhkan PKS sebagai partai kader yang tidak terperangkap pada figuritas kepemimpinan, semisal Partai Demokrat atau PDI-P. Tak kalah krusialnya, kolektivitas kepemimpinan tersebut fungsional mencegah terjadinya kecenderungan saling menyalahkan atau mencari kambing hitam (blame game) di antara elit atau kader PKS. Akhirnya harus diakui bahwa kepemimpinan kolektif menjadikan fungsi kontrol dan terobosan-terobosan progresif dari mesin politik dalam tubuh PKS melaju dengan kecepatan maksimum. (*)
DONNY SYOFYAN
sumber : harian haluan
posted by Adimin
Posting Komentar