Oleh : MAHYELDI ANSHARULLAH
SEORANG teman pernah bertanya kepada saya, “Apa indikasi keislaman masyarakat dalam menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari? Apakah memperjuangkan penerapan Islam atau akhlak yang mulia?”
Belum sempat saya menjawab, dia langsung memberikan ulasan, “Kalau itu maka sulit untuk membuktikan dan mengukurnya, karena faktanya yang menolak penerapan syariat Islam adalah umat Islam sendiri. Jika kejujuran, maka yang, paling terkenal, suka berbohong adalah umat Islam, sehingga wajar jika sebagian umat Islam lebih percaya pada non-muslim dibanding temannya sendiri.”
Cukup lama saya termenung, berpikir, mencari jawaban yang bisa memuaskan saya sendiri setidaknya, tanpa menyinggung perasaan saudara seislam.
Dalam perenungan panjang, dengan membolak-balik beberapa hadis Rasul SAW, saya menemukan suatu jawaban, jika tidak ditemukan lagi orang yang memperjuangkan syariat secara legalitas formal atau orang-orang yang jujur, maka indikasi keislaman masyarakat secara kolektif bisa terlihat dari banyak (maraknya) pelaksanaan shalat berjamaah di masjid.
Dalam kajian fikih ditemukan perdebatan tidak berkesudahan tentang hukum wajib atau sunnah muakkadnya shalat berjamaah. Tetapi beberapa dalil Alquran ataupun Hadis memberikan penjelasan tentang urgensi dan besarnya perhatian Allah dan Rasul SAW terhadap shalat jamaah.
Wajar jika pada akhirnya shalat berjamaah di masjid adalah salah satu ciri utama masyarakat Islam. Dalam banyak ayat-Nya, Allah SWT memuji kaum muslimin yang komitmen dengan shalat berjamaah dan mencela orang yang menganggap remeh persoalan ini.
Di antara bentuk pujian Allah adalah, pertama, shalat berjamaah dijadikan salah satu indikator kesuksesan orang-orang mukmin.
Kedua, shalat berjamaah adalah salah satu indikator masyarakat yang bersyukur atas kemenangan yang dianugerahkan Allah kepada mereka.
Sebaliknya, (ketiga), orang yang tidak peduli dengan pelaksanaan shalat jamaah, melalaikan, malas atau hanya sekedar meremehkan persoalan ini digambarkan oleh Allah sebagai salah satu sifat orang munafiq.
Adanya kekhawatiran seorang sahabat yang bernama Abdullah Ummi Maktum terhadap vonis kemunafikan, menyebabkannya memberanikan diri untuk meminta rukhsah (keringanan hukum) karena kondisi fisiknya yang buta dan tidak ada orang yang akan membimbingya ke masjid. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai pe-nuntun yang akan menuntunku ke Masjid. Maka dia minta keringanan untuk shalat dirumah, maka diberi keringanan. Lalu ia pergi, Beliau memanggilnya seraya berkata: Apakah kamu mendengar adzan? Ya, jawabnya.” Nabi berkata : Kalau begitu penuhilah (hadirilah)! (HR Muslim).
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW tidak memberikan keringanan kepada Abdullah bin Ummi Maktum r.a untuk shalat dirumahnya (tidak berjamaah) kendati ada alasan, seperti keadaan buta, tidak adanya penuntun ke masjid, jarak rumah yang jauh dari masjid, atau usia yang sudah tua.
Sebaliknya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ia bersabda, “Aku berniat memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan shalat. Maka aku perintahkan seorang untuk menjadi imam dan shalat bersama. Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (Al Bukhari-Muslim).
Ketika mengomentari hadis ini, maka Ibnu hajar berkata. Hadits ini menerangkan, shalat berjamaah adalah fardhu ain, karena kalau shalat berjamaah itu hanya sunnah saja, tentu Rasulullah tidak akan berbuat keras terhadap orang-orang yang meninggalkannya, dan kalau fardhu kifayah pastilah telah cukup dengan pekerjaan beliau dan yang bersama beliau.
Dari penjelasan Allah dan Rasul-Nya, begitu juga komentar para sahabat dapat difahami bahwa shalat jamaah sangat penting bagi setiap muslim, sebagai bukti kepatuhannya dalam beragama.
Jika untuk berpuasa, zakat atau haji ada prasyarat yang harus dipenuhi sehingga baru bisa di tunaikan, tetapi khusus untuk shalat ternyata tidak ada syarat khusus. Ketika masuk waktunya maka tidak ada alsan(uzur) untuk meninggalkan atau menggugurkan kewajiban dimaksud. Wajar jika pada akhirnya Rasul SAW secara tegas mengatakan:” Batas antara seseorang dengan kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim). Selanjutnya kerapian dan atau ketidak beresan shaff (barisan) dalam shalat jamaah adalah gambaran dari kerapian atau ketidak beresan umat Islam secara umum.”
Jika shaf yang tidak lurus saat sholat jamaah menjadi salah satu indikator adanya ketidakberesan di dalam shaf kaum muslimin, apalagi meninggalkan sholat berjamaah. Berdasarkan pemahaman yang dalam akan syariat Islam, Imam Hasan al-Banna berwasiat kepada umat Islam untuk segera menunaikan sholat berjamaah ketika adzan sudah berkumandang.
Ia berkata, “Dirikanlah shalat kapan saja kamu mendengar adzan, bagaimanapun kondisimu”. Dengan demikian sudah saatnya para pemimpin, tokoh masyarakat dan masyarakat menumbuhkan semangat untuk memelihara dan melaksanakan shalat jamaah pada awal waktu dan diutamakan di masjid.
Lembaga-lembaga pemerintahan dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah yang bersifat rutin/tidak rutin agar menunjuk petugas pengingat shalat jamaah (muazin) di awal waktu.
Jika semangat keberagamaan (shalat berjamaah) ini berjalan di setiap sudut pelosok negri, maka peluang untuk menjalankan dan menerapkan syariat Islam yang lainnya hanya meninggal waktu. Tetapi sebaliknya jika untuk shalat berjamaah saja belum bisa diterapkan (apalagi di lembaga-lembaga ke Islaman seperti Kementrian Agama, IAIN, Pesantren dan Madrasah), maka kecil harapan syariat yang lebih besar dan berat dari itu dapat ditunaikan.
Semoga semua kita termasuk orang-orang yang berusaha menjadi inisiator hidupnya nilai-nilai keagamaan, salah satunya shalat berjamaah) dalam masyarakat dan pada saat bersamaan terpelihara dari sifat kemunafikan. Semoga!
*harian singgalang selasa 23 April 2013
Posting Komentar